Teladan Sikap Wara Rasulullah dan Para Khulafaur Rasyidin

Jum'at, 05 Juni 2020 - 05:00 WIB
loading...
Teladan Sikap Wara Rasulullah...
Utsman menjamu orang-orang dengan makanan bangsawan, sementara dia sendiri masuk rumahnya dan makan (roti) campur zuka dan minyak. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
WARA secara etimologi (bahasa): berasal dari kata:وَرِعَ , يَرِع yang di ambil dari ( ورع ) yang bermakna 'menahan' dan 'tergenggam'.

Ibnu Faris mendefisikan wara bermakna juga: العفة (menjaga diri) yaitu: menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya. Sedangkan menurut Ibu Manzhur الوَرَع (wara) artinya: merasa risih (jawa=pekewuh). Dan الوَرِع (dengan mengkasrohkan huruf ro') artinya orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih.



Asal arti kata wara adalah: menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Kemudian dipinjam untuk istilah menahan diri dari hal mubah (yang dibolehkan) dan halal.

Dalam mengartikan makna wara ini ulama berbeda dalam pengungkapannya dengan banyak ungkapan. Beda ungkapan tetapi sepakat dalam makna.

Ibnu Umar berkata, "tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya ".



Dengan makna yang serupa diungkapkan oleh sebagian salaf. "Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan hingga meninggalkan apa yang tidak memudaratkan demi kehati-hatian dari perkara yang mengandung kemudaratkan."

Zuhud dan Wara
Syaikh al-Islam Ibnu Taymiah menjelaskan zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat. Bisa karena memang perkara itu tidak ada manfaatnya sama sekali, sisi kemanfaatnya lemah sementara ada perkara lain yang lebih bermanfaat atau terkandung efek buruk yang lebih besar dari manfaatnya. ( )

Jika kemanfaatannya utuh, maka zuhud pada perkara itu adalah kedunguan.

Adapun pengertian wara adalah menahan diri dari perkara yang mungkin dapat memberikan mudarat. Termasuk juga perkara haram serta samar, karena keduanya dapat memberi efek buruk.

Siapa yang menjauhi perkara samar maka dia telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya, dan siapa yang terjerumus ke dalam perkara samar berarti telah terjerumus ke dalam perkara haram, sebagaimana pengembala yang mengembalakan gembalaanya di sekitar pagar, tak ayal akan masuk ke dalamnya.



Singkatnya, zuhud merupakan ketidakadaan harap dan keinginan terhadap objek zuhud. Sedangkan wara merupakan bentuk penghindaran dan ketidaksukaan terhadap objek wara.

Jika ada sesuatu yang tidak ada manfaat atau mudaratnya, atau kemanfaatan serta efek buruknya seimbang dari setiap sisinya, maka perkara itu tidak layak untuk diharap atau dibenci, yang layak adalah zuhud, bukan wara.



Sehingga jelaslah bahwa apa yang layak di-wara-i layak pula di-zuhud-i, tetapi tidak sebaliknya.

Sesuatu yang dibenci atau dihindari layak untuk tidak diingini atau diharap. Ketidakadaan keinginan lebih utama dari adanya kebencian. Adanya kebencian melazimkan tidak adanya keingianan, tetapi tidak sebaliknya. Tidak setiap yang tidak diingini layak untuk dibenci. Bahkan terkadang ada perkara yang tidak layak diharap, dibenci, disukai, dimurkai, diperintahkan atau dilarang pada waktu bersamaan.



Ahmad bin Ali Soleh dalam Mutiara Kisah Salaf Dalam Berinteraksi Dengan Pekara Syubhat Dan Haram menyimpulkan dengan ini menjadi jelas bahwa perkara yang wajib atau mustahabaat (disukai) tidak layak untuk di-zuhud-i dan tidak pula di-wara-i. Sedangkan makruhaat (perkara yang dibenci) layak untuk di-wara-i dan di-zuhud-i.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4248 seconds (0.1#10.140)