Teladan Sikap Wara Rasulullah dan Para Khulafaur Rasyidin
loading...
A
A
A
WARA secara etimologi (bahasa): berasal dari kata:وَرِعَ , يَرِع yang di ambil dari ( ورع ) yang bermakna 'menahan' dan 'tergenggam'.
Ibnu Faris mendefisikan wara bermakna juga: العفة (menjaga diri) yaitu: menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya. Sedangkan menurut Ibu Manzhur الوَرَع (wara) artinya: merasa risih (jawa=pekewuh). Dan الوَرِع (dengan mengkasrohkan huruf ro') artinya orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih.
Asal arti kata wara adalah: menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Kemudian dipinjam untuk istilah menahan diri dari hal mubah (yang dibolehkan) dan halal.
Dalam mengartikan makna wara ini ulama berbeda dalam pengungkapannya dengan banyak ungkapan. Beda ungkapan tetapi sepakat dalam makna.
Ibnu Umar berkata, "tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya ".
Dengan makna yang serupa diungkapkan oleh sebagian salaf. "Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan hingga meninggalkan apa yang tidak memudaratkan demi kehati-hatian dari perkara yang mengandung kemudaratkan."
Zuhud dan Wara
Syaikh al-Islam Ibnu Taymiah menjelaskan zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat. Bisa karena memang perkara itu tidak ada manfaatnya sama sekali, sisi kemanfaatnya lemah sementara ada perkara lain yang lebih bermanfaat atau terkandung efek buruk yang lebih besar dari manfaatnya. ( )
Jika kemanfaatannya utuh, maka zuhud pada perkara itu adalah kedunguan.
Adapun pengertian wara adalah menahan diri dari perkara yang mungkin dapat memberikan mudarat. Termasuk juga perkara haram serta samar, karena keduanya dapat memberi efek buruk.
Siapa yang menjauhi perkara samar maka dia telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya, dan siapa yang terjerumus ke dalam perkara samar berarti telah terjerumus ke dalam perkara haram, sebagaimana pengembala yang mengembalakan gembalaanya di sekitar pagar, tak ayal akan masuk ke dalamnya.
Singkatnya, zuhud merupakan ketidakadaan harap dan keinginan terhadap objek zuhud. Sedangkan wara merupakan bentuk penghindaran dan ketidaksukaan terhadap objek wara.
Jika ada sesuatu yang tidak ada manfaat atau mudaratnya, atau kemanfaatan serta efek buruknya seimbang dari setiap sisinya, maka perkara itu tidak layak untuk diharap atau dibenci, yang layak adalah zuhud, bukan wara.
Sehingga jelaslah bahwa apa yang layak di-wara-i layak pula di-zuhud-i, tetapi tidak sebaliknya.
Sesuatu yang dibenci atau dihindari layak untuk tidak diingini atau diharap. Ketidakadaan keinginan lebih utama dari adanya kebencian. Adanya kebencian melazimkan tidak adanya keingianan, tetapi tidak sebaliknya. Tidak setiap yang tidak diingini layak untuk dibenci. Bahkan terkadang ada perkara yang tidak layak diharap, dibenci, disukai, dimurkai, diperintahkan atau dilarang pada waktu bersamaan.
Ahmad bin Ali Soleh dalam Mutiara Kisah Salaf Dalam Berinteraksi Dengan Pekara Syubhat Dan Haram menyimpulkan dengan ini menjadi jelas bahwa perkara yang wajib atau mustahabaat (disukai) tidak layak untuk di-zuhud-i dan tidak pula di-wara-i. Sedangkan makruhaat (perkara yang dibenci) layak untuk di-wara-i dan di-zuhud-i.
Untuk mubahaat (perkara yang boleh) yang layak adalah di-zuhud-i bukan di-wara-i. Yang demikian ini jelas, dapat diketahui dengan sedikit perenungan.
Teladan Rasulullah
Anas berkata: "Ketika Nabi melintasi suatu jalan Ia melihat kurma. Beliaupun berkata:
(( لَوْ لاَ أَنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ مِنْ الصَّدَقَةِ َلأَكَلْتُهَا ))
"Sekiranya aku tidak khawatir ia berasal dari sedekah niscaya aku memakannya." (Bukhari kitab: al-Luqotoh bab: Jika menemukan kurma di jalan no.2431. Muslim kitab: az-Zakah bab: Rasulullah diharamkan merenerima zakat no.2475 -dengan penjelasan Nawawi)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau berkata:
(( ِنِّي َلأَنْقَلِبُ إِلىَ أَهْلِي فَأَجِدُ التَّمْرَةَ ساَقِطَةٌ عَلَى فِرَاشِي فَأَرْفَعُهَا ِلآكُلُهَا ثُمَّ أَخْشَى أَنْ تَكُوْنَ مِنْ الصَّدَقَة فَأَلْقِيهَا ))
"Ketika aku berbaring di rumahku, aku dapati sebutir kurma jatuh dari tempat tidur. Akupun mengambilnya untuk memakannya. Tapi karena khawatir ia berasal dari sedekah, maka akupun mengurungkannya." (Bukhari kitab: al-Luqotoh bab: Jika menemukan kurma di jalan no.2432. Muslim kitab: az-Zakah bab: Rasulullah diharamkan merenerima zakat no.2473 -dengan penjelasan Nawawi)
Dari Amr bin Syu'aib, dari Ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah (ketika terjaga) dari tidur mendapatkan kurma di sampingnya. Beliaupun mengambil dan memakannya. Tetapi kemudian di akhir malam beliau mengerang sehingga membuat istri beliau terkejut. Beliau berkata:
(( إِنِّي وَجَدْتُ تَمْرَةً تَحْتَ جَنْبِي, فَأَكَلْتُهَا فَخَشِيْتُ أَنْ تَكُوْنَ مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ ))
"Aku menemukan kurma disampingku dan memakannya. Aku khawatir ia merupakan kurma sedekah." (Dalam musnad Ahmad XI/328 no.6720 cetakan Muasasah ar-Risalah).
Teladan Abu Bakar
Abu Bakar, orang terbaik umat ini, pengganti Rasulullah dan yang menemani Nabi di goa, sahabat karib Nabi, mentrinya yang setia, Abdullah bin Abu Kuhafah Utsman al-Qurasy at-Tamimy
Aisyah berkata, Abu Bakar memiliki seorang budak yang bertugas mengumpulkan keuntungan dari usaha-usaha bagi hasilnya. Dari hasil itulah Abu Bakar makan. Pada suatu kali budak itu datang membawa makanan dan Abu Bakar pun memakannya. ( )
Berkatalah budak itu kepada Abu Bakar: "Tahukah engkau apa yang sedang engkau makan itu?"
"Apa ini?" tanya Abu Bakar.
"Ketika di masa jahiliah dahulu aku menjadi paranormal untuk seseorang, padahal aku tidak mengerti perdukunan, selain membodohinya. Diapun memberiku imbalan. Yang sedang engkau makan adalah termasuk hasil darinya."
Segera Abu Bakar memasukkan jarinya ke dalam mulutnya dan memuntahkan segala yang telah masuk perutnya."
Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, bahwa Umar bin al-Khathab mendatangi Abu Bakar dan didapati sedang merenggut lidahnya. Umarpun berkata kepadanya:
"Hah, semoga Allah mengampunimu."
Abu Bakarpun berkata: "Sesungguhnya lidah ini mengajak kepada kebinasaan."
Teladan Umar bin Khattab
Umar bin Khattab juga begitu. Syair arab mengatakan:
Siapa yang menyaingi Abu Hafs (Umar) dan perjalan hidupnya
Atau siapa yang berusaha menyerupainya
Ketika istrinya meminta gula-gula, dia berkata
Dari mana aku mendapatkan uang pembeli gula-gula
Apa yang berlebih dari makanan kita, kaum muslimin lebih utama
Berdiri dan kembalikanlah ia ke baitul mal
Dari Nafi, bahwa Umar bin al-Khathab membagi hasil harta rampasan perang untuk kaum Muhajirin generasi pertama sebesar 4000 dirham setiap orangnya. Sedangkan untuk Ibnu Umar (putranya sendiri) hanya 3500 dirham. Sehingga ada yang berkomentar: "Dia juga termasuk Muhajirin, kenapa kurang dari 4000?"
"Sesungguhnya yang berhijrah adalah kedua orang tuanya, itu tidak seperti berhijrah sendiri," jawab Umar.
Ismail bin Muhammad bin Saad bin Abi Waqas berkata:
"Dikirimkan kepada Umar minyak misk dan anbar dari Bahrain, Umar berkata: "Demi Allah, seandainya ada wanita yang pandai menakar untuk menakarkan minyak ini sehingga dapat aku bagi-bagikan kepada kaum muslimin."
Maka istrinya, Atikah binti Zait bin Amr bin Nafil berkata: "Aku pandai menakar, mari aku takarkan untukmu."
"Tidak!" sahut Umar.
"Kenapa?" tanya istrinya.
"Aku khawatir kamu mengambilnya begini dan melakukannya begini –seraya memasukan jarinya ke sela-sela rambut di atas telinganya-, kemudian engkau mengusapkannya kelehermu, sehingga kamu mendapatkan lebihan dari hak kaum muslimin," jawab Umar.
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Muadz al-Anbari berkata: Naim berkata kepadaku dari (sahabiah) al-Athaarah katanya:
"Umar pernah menyerahkan minyak wangi kaum muslimin kepada istrinya untuk dijualkan, agar hasil penjualannya dapat dibagikan kepada kaum muslimin. Istrinya menjualnya kepadaku. Ia menakar dengan cara menambahi atau mengurangi serta memecah gumpalan dengan giginya. (tak ayal) ada bagian yang menempel di jemarinya. Diapun menempelkan jemarinya kebibirnya (untuk membasahinya) lalu mengusapkannya ke kerudungnya. Ketika Umar datang, dia bertanya: "Bau apa ini?"
Baca Juga: Biografi Umar Bin Khattab, Khalifah Kedua yang Menaklukkan Romawi dan Persia
Istrinya mengabarkan apa yang berlangsung. Umar berang: "Engkau mengambil minyak kaum muslimin dan memakainya!"
Umar melepas kerudung istrinya kemudian mengambil air dan menyiramkan ke kerudung itu sambil menggosok-gosokan ke tanah, kemudian menciumi baunya, lalu menyiramnya lagi dengan air sambil mengosok-gosokkan ke tanah, kemudian menciumi baunya dan mengulanginya lagi sebanyak yang Allah kehendaki.
Al-Athaarah melanjutkan: "Dikesempatan lain aku mendatanginya lagi (untuk membeli minyak). Ketika dia menakarkan untukku, sesuatu dari minyak wangi kembali menempel di jemarinya. Diapun menempelkan jemarinya kebibirnya (untuk dibasahi) lalu mengusapkannya ke tanah.
Akupun berkata: "Dulu engkau tidak melakukan seperti ini?"
Istri umar menjawab: "Apakah engkau lupa dengan apa yang dilakukan Umar? Aku mendapatkan begini dan begini."
Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Ashim bin Umar dari Umar, dia berkata: "Tidak halal bagiku makan dari harta kalian selain sebagaimana aku memakannya dari pokok hartaku; roti dengan minyak atau roti dengan mentega."
Terkadang bila didatangkan keju yang dibuat dari minyak atau mentega dia meminta izin kepada kaum muslimin dengan berkata: aku adalah orang Arab tidak dapat terus menerus memakan minyak."
Qotadah berkata: "Dahulu aku menjadi penanggung jawab baitul mal di masa pemerintahan Umar. Ketika menyapu baitul mal, kudapati sekeping dirham. Akupun memberikannya kepada Ibnu Umar (putra umar), lalu pulang. Tetapi kemudian datang utusan Umar memanggilku. Ketika tiba, sekeping dirham itu sudah berada ditangan Umar.
Umar berkata kepadaku: "Celaka engkau, apakah ada sesuatu atasku dalam dirimu?! ada masalah apa antara aku dan engkau?"
"Ada apa amirul mukminin?" tanya Qatadah.
"Apakah engkau ingin umat Muhammad menuntutku (di akhirat) karena sekeping dirham ini?" tegas Umar.
Teladan Utsman bin Affan
Dia adalah Abu Amar al-Umawi. Bergelar Zuu an-Nurain (pemilik dua cahaya –maksudnya yang menikahi dua putri Nabi-). Malaikat malu kepadanya. Dia yang mengumpulkan umat pada satu mushaf setelah berselisih. Yang menaklukan Khurasan dan Magrib. Termasuk dari generasi awal lagi jujur. Senantiasa menegakkan salat malam dan berpuasa. Yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dan yang dipersaksikan oleh Rasulullah sebagai penghuni surga. (
Dari Syarhabil bin Muslim bahwa Utsman menjamu orang-orang dengan makanan bangsawan, sementara dia sendiri masuk rumahnya dan makan (roti) campur zuka dan minyak.
Teladan Ali bin Abi Thalib
Nabi mempersaksikannya sebagai penghuni surga. Nabi berkata:
مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌ مَوْلاَهُ
"Siapa yang aku sebagai pelindung/pemimpinnya, maka Ali adalah pelindung/pemimpinnya."
Dan sabdanya:
(( أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُوْن مِنْ مُوْسَى إِلاّ أَنَّهُ لاَ نَبِي بَعْدِي ))
"Engkau bagiku seperti posisi Nabi harun pada Nabi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku."
Sabdanya yang lain:
(( لاَ يُحِبُّكَ إِلاّ مُؤْمِن, وَلاَ يَبْغَضُكَ إِلاّ مُنَافِق ))
"Tidak ada yang mencintaimu kecuali dia itu seorang mukmin, dan tidak ada yang membencimu melainkan dia itu munafik."
Dari Abdullah bin Umair, dari seseorang yang berasal dari Tsaqif menceritakan bahwa Ali menugaskan Abdullah bin Umair memimpin daerah Akbari, bagian wilayah Kufah. Ali berkata kepadanya: "Salatlah zuhur di tempatku."
"Akupun mendatanginya karena tidak ada alasan bagiku untuk tidak mendatanginya. Ketika sampai, aku dapati padanya ada cawan berisi air dan cangkir. Lalu dia meminta dibawakan bathiah (mangkuk), membuka tutupnya dan makan dengan rebusan air kacang.
Maka akupun berkata: "Wahai Amirul Mukminin, engkau mengkonsumsi seperti ini di Irak padahal Irak memiliki makanan yang lebih dari ini."
Dia berkata: "Demi Allah, tidaklah aku lakukan hal ini karena bakhil terhadap makanan, dan engkau tahu bahwa tidak ada yang lebih menjaga milikku daripada aku. Aku tidak suka mengadakan sesuatu yang tidak aku miliki. Dan aku tidak suka memasukkan sesuatu ke dalam perutku kecuali yang baik."
Dari Umul Walad milik Ali, dia berkata: "Pada suatu hari aku mendatangi Ali. Di hadapannya ada kurunful maksuf (seikat ranting semacam batang sirih yang berbau wangi, biasanya digunakan pada masakan), akupun berkata kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, berikan seutas qurunful itu untuk putriku!"
Ali menjawab: "Beri aku sekeping dirham! -seraya menjulurkan tangannya-. Sesungguhnya ini adalah harta kaum muslimin; bersabarlah sampai kuterima gajiku, maka akan aku berikan kepadamu.".
Ali enggan memberiku sedikitpun darinya.
Abu Shaleh al-Hanafi berkata: "Aku mendatangi Ummu Kultsum (putri Ali). Ketika sampai Ummu Kultsum berkata:
"Jamulah Abu Shaleh!"
Abu Shaleh diberi kari yang berisi kacang. "Kalian memberiku ini padahal kalian adalah penguasa," komentar Abu Shaleh.
"Bagaimana jika engkau melihat Amirul Mukminin, Ali ketika diberi buah utruj Hasan atau Husain memintanya untuk anak-anak mereka, tetapi Ali enggan memberikannya dan memilih membagikannya kepada kaum muslimin," jawab Ummu Kultsum. (
)
Ibnu Faris mendefisikan wara bermakna juga: العفة (menjaga diri) yaitu: menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya. Sedangkan menurut Ibu Manzhur الوَرَع (wara) artinya: merasa risih (jawa=pekewuh). Dan الوَرِع (dengan mengkasrohkan huruf ro') artinya orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih.
Asal arti kata wara adalah: menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Kemudian dipinjam untuk istilah menahan diri dari hal mubah (yang dibolehkan) dan halal.
Dalam mengartikan makna wara ini ulama berbeda dalam pengungkapannya dengan banyak ungkapan. Beda ungkapan tetapi sepakat dalam makna.
Ibnu Umar berkata, "tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya ".
Dengan makna yang serupa diungkapkan oleh sebagian salaf. "Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan hingga meninggalkan apa yang tidak memudaratkan demi kehati-hatian dari perkara yang mengandung kemudaratkan."
Zuhud dan Wara
Syaikh al-Islam Ibnu Taymiah menjelaskan zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat. Bisa karena memang perkara itu tidak ada manfaatnya sama sekali, sisi kemanfaatnya lemah sementara ada perkara lain yang lebih bermanfaat atau terkandung efek buruk yang lebih besar dari manfaatnya. ( )
Jika kemanfaatannya utuh, maka zuhud pada perkara itu adalah kedunguan.
Adapun pengertian wara adalah menahan diri dari perkara yang mungkin dapat memberikan mudarat. Termasuk juga perkara haram serta samar, karena keduanya dapat memberi efek buruk.
Siapa yang menjauhi perkara samar maka dia telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya, dan siapa yang terjerumus ke dalam perkara samar berarti telah terjerumus ke dalam perkara haram, sebagaimana pengembala yang mengembalakan gembalaanya di sekitar pagar, tak ayal akan masuk ke dalamnya.
Singkatnya, zuhud merupakan ketidakadaan harap dan keinginan terhadap objek zuhud. Sedangkan wara merupakan bentuk penghindaran dan ketidaksukaan terhadap objek wara.
Jika ada sesuatu yang tidak ada manfaat atau mudaratnya, atau kemanfaatan serta efek buruknya seimbang dari setiap sisinya, maka perkara itu tidak layak untuk diharap atau dibenci, yang layak adalah zuhud, bukan wara.
Sehingga jelaslah bahwa apa yang layak di-wara-i layak pula di-zuhud-i, tetapi tidak sebaliknya.
Sesuatu yang dibenci atau dihindari layak untuk tidak diingini atau diharap. Ketidakadaan keinginan lebih utama dari adanya kebencian. Adanya kebencian melazimkan tidak adanya keingianan, tetapi tidak sebaliknya. Tidak setiap yang tidak diingini layak untuk dibenci. Bahkan terkadang ada perkara yang tidak layak diharap, dibenci, disukai, dimurkai, diperintahkan atau dilarang pada waktu bersamaan.
Ahmad bin Ali Soleh dalam Mutiara Kisah Salaf Dalam Berinteraksi Dengan Pekara Syubhat Dan Haram menyimpulkan dengan ini menjadi jelas bahwa perkara yang wajib atau mustahabaat (disukai) tidak layak untuk di-zuhud-i dan tidak pula di-wara-i. Sedangkan makruhaat (perkara yang dibenci) layak untuk di-wara-i dan di-zuhud-i.
Untuk mubahaat (perkara yang boleh) yang layak adalah di-zuhud-i bukan di-wara-i. Yang demikian ini jelas, dapat diketahui dengan sedikit perenungan.
Teladan Rasulullah
Anas berkata: "Ketika Nabi melintasi suatu jalan Ia melihat kurma. Beliaupun berkata:
(( لَوْ لاَ أَنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ مِنْ الصَّدَقَةِ َلأَكَلْتُهَا ))
"Sekiranya aku tidak khawatir ia berasal dari sedekah niscaya aku memakannya." (Bukhari kitab: al-Luqotoh bab: Jika menemukan kurma di jalan no.2431. Muslim kitab: az-Zakah bab: Rasulullah diharamkan merenerima zakat no.2475 -dengan penjelasan Nawawi)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi, beliau berkata:
(( ِنِّي َلأَنْقَلِبُ إِلىَ أَهْلِي فَأَجِدُ التَّمْرَةَ ساَقِطَةٌ عَلَى فِرَاشِي فَأَرْفَعُهَا ِلآكُلُهَا ثُمَّ أَخْشَى أَنْ تَكُوْنَ مِنْ الصَّدَقَة فَأَلْقِيهَا ))
"Ketika aku berbaring di rumahku, aku dapati sebutir kurma jatuh dari tempat tidur. Akupun mengambilnya untuk memakannya. Tapi karena khawatir ia berasal dari sedekah, maka akupun mengurungkannya." (Bukhari kitab: al-Luqotoh bab: Jika menemukan kurma di jalan no.2432. Muslim kitab: az-Zakah bab: Rasulullah diharamkan merenerima zakat no.2473 -dengan penjelasan Nawawi)
Baca Juga
Dari Amr bin Syu'aib, dari Ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah (ketika terjaga) dari tidur mendapatkan kurma di sampingnya. Beliaupun mengambil dan memakannya. Tetapi kemudian di akhir malam beliau mengerang sehingga membuat istri beliau terkejut. Beliau berkata:
(( إِنِّي وَجَدْتُ تَمْرَةً تَحْتَ جَنْبِي, فَأَكَلْتُهَا فَخَشِيْتُ أَنْ تَكُوْنَ مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ ))
"Aku menemukan kurma disampingku dan memakannya. Aku khawatir ia merupakan kurma sedekah." (Dalam musnad Ahmad XI/328 no.6720 cetakan Muasasah ar-Risalah).
Teladan Abu Bakar
Abu Bakar, orang terbaik umat ini, pengganti Rasulullah dan yang menemani Nabi di goa, sahabat karib Nabi, mentrinya yang setia, Abdullah bin Abu Kuhafah Utsman al-Qurasy at-Tamimy
Aisyah berkata, Abu Bakar memiliki seorang budak yang bertugas mengumpulkan keuntungan dari usaha-usaha bagi hasilnya. Dari hasil itulah Abu Bakar makan. Pada suatu kali budak itu datang membawa makanan dan Abu Bakar pun memakannya. ( )
Berkatalah budak itu kepada Abu Bakar: "Tahukah engkau apa yang sedang engkau makan itu?"
"Apa ini?" tanya Abu Bakar.
"Ketika di masa jahiliah dahulu aku menjadi paranormal untuk seseorang, padahal aku tidak mengerti perdukunan, selain membodohinya. Diapun memberiku imbalan. Yang sedang engkau makan adalah termasuk hasil darinya."
Segera Abu Bakar memasukkan jarinya ke dalam mulutnya dan memuntahkan segala yang telah masuk perutnya."
Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, bahwa Umar bin al-Khathab mendatangi Abu Bakar dan didapati sedang merenggut lidahnya. Umarpun berkata kepadanya:
"Hah, semoga Allah mengampunimu."
Abu Bakarpun berkata: "Sesungguhnya lidah ini mengajak kepada kebinasaan."
Teladan Umar bin Khattab
Umar bin Khattab juga begitu. Syair arab mengatakan:
Siapa yang menyaingi Abu Hafs (Umar) dan perjalan hidupnya
Atau siapa yang berusaha menyerupainya
Ketika istrinya meminta gula-gula, dia berkata
Dari mana aku mendapatkan uang pembeli gula-gula
Apa yang berlebih dari makanan kita, kaum muslimin lebih utama
Berdiri dan kembalikanlah ia ke baitul mal
Dari Nafi, bahwa Umar bin al-Khathab membagi hasil harta rampasan perang untuk kaum Muhajirin generasi pertama sebesar 4000 dirham setiap orangnya. Sedangkan untuk Ibnu Umar (putranya sendiri) hanya 3500 dirham. Sehingga ada yang berkomentar: "Dia juga termasuk Muhajirin, kenapa kurang dari 4000?"
"Sesungguhnya yang berhijrah adalah kedua orang tuanya, itu tidak seperti berhijrah sendiri," jawab Umar.
Ismail bin Muhammad bin Saad bin Abi Waqas berkata:
"Dikirimkan kepada Umar minyak misk dan anbar dari Bahrain, Umar berkata: "Demi Allah, seandainya ada wanita yang pandai menakar untuk menakarkan minyak ini sehingga dapat aku bagi-bagikan kepada kaum muslimin."
Maka istrinya, Atikah binti Zait bin Amr bin Nafil berkata: "Aku pandai menakar, mari aku takarkan untukmu."
"Tidak!" sahut Umar.
"Kenapa?" tanya istrinya.
"Aku khawatir kamu mengambilnya begini dan melakukannya begini –seraya memasukan jarinya ke sela-sela rambut di atas telinganya-, kemudian engkau mengusapkannya kelehermu, sehingga kamu mendapatkan lebihan dari hak kaum muslimin," jawab Umar.
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Muadz al-Anbari berkata: Naim berkata kepadaku dari (sahabiah) al-Athaarah katanya:
"Umar pernah menyerahkan minyak wangi kaum muslimin kepada istrinya untuk dijualkan, agar hasil penjualannya dapat dibagikan kepada kaum muslimin. Istrinya menjualnya kepadaku. Ia menakar dengan cara menambahi atau mengurangi serta memecah gumpalan dengan giginya. (tak ayal) ada bagian yang menempel di jemarinya. Diapun menempelkan jemarinya kebibirnya (untuk membasahinya) lalu mengusapkannya ke kerudungnya. Ketika Umar datang, dia bertanya: "Bau apa ini?"
Baca Juga: Biografi Umar Bin Khattab, Khalifah Kedua yang Menaklukkan Romawi dan Persia
Istrinya mengabarkan apa yang berlangsung. Umar berang: "Engkau mengambil minyak kaum muslimin dan memakainya!"
Umar melepas kerudung istrinya kemudian mengambil air dan menyiramkan ke kerudung itu sambil menggosok-gosokan ke tanah, kemudian menciumi baunya, lalu menyiramnya lagi dengan air sambil mengosok-gosokkan ke tanah, kemudian menciumi baunya dan mengulanginya lagi sebanyak yang Allah kehendaki.
Al-Athaarah melanjutkan: "Dikesempatan lain aku mendatanginya lagi (untuk membeli minyak). Ketika dia menakarkan untukku, sesuatu dari minyak wangi kembali menempel di jemarinya. Diapun menempelkan jemarinya kebibirnya (untuk dibasahi) lalu mengusapkannya ke tanah.
Akupun berkata: "Dulu engkau tidak melakukan seperti ini?"
Istri umar menjawab: "Apakah engkau lupa dengan apa yang dilakukan Umar? Aku mendapatkan begini dan begini."
Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Ashim bin Umar dari Umar, dia berkata: "Tidak halal bagiku makan dari harta kalian selain sebagaimana aku memakannya dari pokok hartaku; roti dengan minyak atau roti dengan mentega."
Terkadang bila didatangkan keju yang dibuat dari minyak atau mentega dia meminta izin kepada kaum muslimin dengan berkata: aku adalah orang Arab tidak dapat terus menerus memakan minyak."
Qotadah berkata: "Dahulu aku menjadi penanggung jawab baitul mal di masa pemerintahan Umar. Ketika menyapu baitul mal, kudapati sekeping dirham. Akupun memberikannya kepada Ibnu Umar (putra umar), lalu pulang. Tetapi kemudian datang utusan Umar memanggilku. Ketika tiba, sekeping dirham itu sudah berada ditangan Umar.
Umar berkata kepadaku: "Celaka engkau, apakah ada sesuatu atasku dalam dirimu?! ada masalah apa antara aku dan engkau?"
"Ada apa amirul mukminin?" tanya Qatadah.
"Apakah engkau ingin umat Muhammad menuntutku (di akhirat) karena sekeping dirham ini?" tegas Umar.
Teladan Utsman bin Affan
Dia adalah Abu Amar al-Umawi. Bergelar Zuu an-Nurain (pemilik dua cahaya –maksudnya yang menikahi dua putri Nabi-). Malaikat malu kepadanya. Dia yang mengumpulkan umat pada satu mushaf setelah berselisih. Yang menaklukan Khurasan dan Magrib. Termasuk dari generasi awal lagi jujur. Senantiasa menegakkan salat malam dan berpuasa. Yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dan yang dipersaksikan oleh Rasulullah sebagai penghuni surga. (
Dari Syarhabil bin Muslim bahwa Utsman menjamu orang-orang dengan makanan bangsawan, sementara dia sendiri masuk rumahnya dan makan (roti) campur zuka dan minyak.
Teladan Ali bin Abi Thalib
Nabi mempersaksikannya sebagai penghuni surga. Nabi berkata:
مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌ مَوْلاَهُ
"Siapa yang aku sebagai pelindung/pemimpinnya, maka Ali adalah pelindung/pemimpinnya."
Dan sabdanya:
(( أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُوْن مِنْ مُوْسَى إِلاّ أَنَّهُ لاَ نَبِي بَعْدِي ))
"Engkau bagiku seperti posisi Nabi harun pada Nabi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku."
Sabdanya yang lain:
(( لاَ يُحِبُّكَ إِلاّ مُؤْمِن, وَلاَ يَبْغَضُكَ إِلاّ مُنَافِق ))
"Tidak ada yang mencintaimu kecuali dia itu seorang mukmin, dan tidak ada yang membencimu melainkan dia itu munafik."
Dari Abdullah bin Umair, dari seseorang yang berasal dari Tsaqif menceritakan bahwa Ali menugaskan Abdullah bin Umair memimpin daerah Akbari, bagian wilayah Kufah. Ali berkata kepadanya: "Salatlah zuhur di tempatku."
"Akupun mendatanginya karena tidak ada alasan bagiku untuk tidak mendatanginya. Ketika sampai, aku dapati padanya ada cawan berisi air dan cangkir. Lalu dia meminta dibawakan bathiah (mangkuk), membuka tutupnya dan makan dengan rebusan air kacang.
Maka akupun berkata: "Wahai Amirul Mukminin, engkau mengkonsumsi seperti ini di Irak padahal Irak memiliki makanan yang lebih dari ini."
Dia berkata: "Demi Allah, tidaklah aku lakukan hal ini karena bakhil terhadap makanan, dan engkau tahu bahwa tidak ada yang lebih menjaga milikku daripada aku. Aku tidak suka mengadakan sesuatu yang tidak aku miliki. Dan aku tidak suka memasukkan sesuatu ke dalam perutku kecuali yang baik."
Dari Umul Walad milik Ali, dia berkata: "Pada suatu hari aku mendatangi Ali. Di hadapannya ada kurunful maksuf (seikat ranting semacam batang sirih yang berbau wangi, biasanya digunakan pada masakan), akupun berkata kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, berikan seutas qurunful itu untuk putriku!"
Ali menjawab: "Beri aku sekeping dirham! -seraya menjulurkan tangannya-. Sesungguhnya ini adalah harta kaum muslimin; bersabarlah sampai kuterima gajiku, maka akan aku berikan kepadamu.".
Ali enggan memberiku sedikitpun darinya.
Abu Shaleh al-Hanafi berkata: "Aku mendatangi Ummu Kultsum (putri Ali). Ketika sampai Ummu Kultsum berkata:
"Jamulah Abu Shaleh!"
Abu Shaleh diberi kari yang berisi kacang. "Kalian memberiku ini padahal kalian adalah penguasa," komentar Abu Shaleh.
"Bagaimana jika engkau melihat Amirul Mukminin, Ali ketika diberi buah utruj Hasan atau Husain memintanya untuk anak-anak mereka, tetapi Ali enggan memberikannya dan memilih membagikannya kepada kaum muslimin," jawab Ummu Kultsum. (
Baca Juga
(mhy)