Tiga Amalan untuk Mendatangkan Kecintaan Allah Ta'ala
loading...
A
A
A
Sifat Allāh yaitu “mencintai”. Allāh mencintai seorang hamba; Allāh dicintai dan Allāh mencintai. Seorang hamba hendaknya berusaha untuk dicintai oleh Allāh Ta’āla, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullāhu Ta’āla:
ليس الشأن أن تُحب ولكن الشأن أن تُحَب
Perkaranya bukan bagaimana engkau mengaku mencintai Allāh, tetapi apakah kau dicintai Allāh. [Kitab Rawdhatul Muhibbīn Wa Nuzhatul Musytaqīn: 266]
Ini yang paling penting. (( )
Oleh karenanya, seorang hamba hendaknya berusaha melakukan hal-hal yang bisa meraih kecintaan Allāh kepada dirinya.
Allah subhanahu wa ta’ala mencintai orang yang takwa, kaya, lagi khafiy.
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ رضي الله عنه قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: “إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الخَفِيَّ.” أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallāhu ‘anhu ia berkata, aku pernah mendengar Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allāh mencintai seorang hamba yang bertakwa , yang merasa cukup, dan yang rajin beribadah secara diam-diam (samar).” (HR Muslim)
Di dalam hadis ini, di antara hal-hal yang bisa mendatangkan kecintaan Allāh kepada seorang hamba, 3 perkara, menurut Rasulullah yaitu:
Pertama, At Taqiy yakni seorang hamba yang bertakwa. Takwa artinya menjalankan perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan menjauhkan diri sejauh mungkin dari hal-hal yang dilarang oleh AllāhTa’āla.
Asma` binti Rasyid ar-Ruwaisyid dalam "Ibadah Yang Paling Dicintai Allah" mendefinisikan taqiy yaitu yang beriman kepada yang gaib , mendirikan salat , menginfakkan rezeki yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya, menghindari yang diharamkan Allah, taat dan mengikuti syari’at-Nya yang Dia mengutus dengannya penutup rasul-Nya dan pemimpin mereka.
Kedua, al-ghaniy atau seorang yang kaya. Maksudnya adalah jiwanya yang kaya, qona’ah dengan apa yang Allāh berikan kepadanya.
Asma' menerangkan yang dimaksud kaya dalam hadis itu adalah yang kaya hati, inilah kaya yang dicintai berdasarkan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ليس الغنى عن كثرة العرض ولكن الغنى غنى النفس )) [أخرجه البخاري].
“Bukanlah kaya karena banyaknya harta benda, akan tetapi kaya yang sebenarnya adalah kaya hati.” (HR al-Bukhari).
Menurut Ibnu Baththal, makna hadis di atas bahwa kaya yang sebenarnya bukanlah dengan banyak harta, karena banyak sekali orang yang diluaskan Allah subhanahu wa ta’ala hartanya ternyata tidak merasa cukup dengan yang diberikan, maka ia terus berusaha menambah dan tidak perduli dari mana datangnya.
Seolah-olah ia orang fakir karena sangat tamaknya. Dan hakikat kaya yang sebenarnya adalah kaya jiwa, yaitu orang yang merasa kaya dengan yang diberikan, merasa cukup dengannya dan ridha, tidak tamak untuk menambah dan tidak terus menerus meminta, maka seolah-olah ia orang kaya.
.
Kaya jiwa muncul dari ridha dengan qadha Allah subhanahu wa ta’ala dan berserah diri kepada perintah-Nya, karena mengetahui bahwa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala lebih baik dan lebih kekal.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, sesungguhnya kekayaan jiwa bisa didapatkan dengan kaya hati, bahwa ia berharap kepada Rabb-nya dalam semua perkaranya, maka terealisasikan bahwa Dia-lah Yang Maha Pemberi lagi Maha Menghalangi. Maka ia ridha dengan qadha-Nya, bersyukur kepada-Nya terhadap segala nikmat-Nya, bersegera kepada-Nya dalam menyingkirkan kesusahannya, maka muncul dari harapan hati kepada Rabb-nya, kaya jiwanya dari selain Rabb-nya subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah bersabda, “barangsiapa yang berusaha untuk mencukupkan diri, maka Allāh akan mencukupkan dirinya (Allāh akan berikan kecukupan kepada dia).”
a Menawar
Ketiga, khafiy. Hal yang ketiga ini ada dua bentuk. Al-khafiy dan al-hafiy. Yakni dalam huruf kha (خ) dan dalam huruf ha (ح). Jika dengan huruf kha (خ) yaitu al khafiy (الخفي) artinya “samar” ( tersembunyi). Maksudnya, orang ini berusaha menjauhkan dirinya dari pandangan manusia, dia tidak ingin riya’ dan sum’ah.
Dia sibuk dalam perkara-perkara yang bermanfaat bagi dirinya; bermanfaat bagi dunianya maupun bagi akhiratnya.
Para ulama menyebutkan bahwa ini adalah dalil tentang keutamaan untuk mengasingkan diri, terutama di zaman-zaman fitnah.
Seseorang hendaknya jangan sibuk dengan fitnah, tetapi sibuk dengan yang bermanfaat, sibuk dengan ibadah.
Dalam hadis Rasūlullāh shallallāhu ‘ālaihi wasallam mengatakan:
العِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ
“Bahwasanya ibadah dalam masa-masa fitnah pahalanya seperti berhijrah kepadaku." (HR Muslim no. 2948)
Kenapa? Karena kalau sudah timbul fitnah, maka banyak orang yang sibuk ingin mengetahui fitnah tersebut, kemudian ingin berkomentar dalam fitnah dan ikut nimbrung.
Dan ini adalah dalil bahwasanya seorang hendaknya menjauhkan dirinya dari hal-hal yang bisa membuat riya’ dan sum’ah, dan tidak ingin populer/tersohor.
Namun para ulama menyebutkan, jika seseorang tidak ingin populer/tersohor dan tidak melakukan sebab-sebab yang membuat dirinya populer (sengaja untuk mempopulerkan diri), namun qaddarullāh dia terpopulerkan/dikenal oleh orang. Asalkan yang penting dia ikhlas maka ini tidak memberi kemudharatan kepada dia.
Bahkan disebutkan dalam hadis bahwasanya “Kalau ada orang memuji orang lain” maka kata Rasulullāh shallallāhu ‘ālaihi wasallam: “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan dari Allāh kepada dia.”
Sedangkan huruf ha (ح) dalam al-hafiy (الحفي), disebutkan oleh para ulama maknanya adalah “orang yang sibuk dengan keluarganya” (muhtafiy bi ahlihi).
Dia urus anak-anaknya, istrinya, tidak sibuk dengan urusan orang lain. Orang seperti ini dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla karena mengurus keluarga adalah perkara yang penting; keluarga itu adalah pahala yang primer.
Sedangkan Asma' menerjemahkan al-khafiy sibuk beribadah dan mengurus dirinya sendiri. Menurut Asma', sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai orang yang takwa lagi samar, yang bila tidak ada (gaib) tidak ada yang mencarinya, jika hadir tidak ada yang mengenalnya, tidak menampakkan diri dengan kebaikan, tidak menampakkan amal dan ilmu, tidak mencari kedudukan di hati makhluk, merasa cukup dengan perhatian Yang Maha Pencipta terhadap ibadahnya tanpa perhatian manusia, merasa cukup dengan pujian Allah subhanahu wa ta’ala saja tanpa pujian manusia. Wallahu'alam. ( )
ليس الشأن أن تُحب ولكن الشأن أن تُحَب
Perkaranya bukan bagaimana engkau mengaku mencintai Allāh, tetapi apakah kau dicintai Allāh. [Kitab Rawdhatul Muhibbīn Wa Nuzhatul Musytaqīn: 266]
Ini yang paling penting. (( )
Oleh karenanya, seorang hamba hendaknya berusaha melakukan hal-hal yang bisa meraih kecintaan Allāh kepada dirinya.
Allah subhanahu wa ta’ala mencintai orang yang takwa, kaya, lagi khafiy.
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ رضي الله عنه قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: “إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الخَفِيَّ.” أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallāhu ‘anhu ia berkata, aku pernah mendengar Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allāh mencintai seorang hamba yang bertakwa , yang merasa cukup, dan yang rajin beribadah secara diam-diam (samar).” (HR Muslim)
Di dalam hadis ini, di antara hal-hal yang bisa mendatangkan kecintaan Allāh kepada seorang hamba, 3 perkara, menurut Rasulullah yaitu:
Pertama, At Taqiy yakni seorang hamba yang bertakwa. Takwa artinya menjalankan perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan menjauhkan diri sejauh mungkin dari hal-hal yang dilarang oleh AllāhTa’āla.
Asma` binti Rasyid ar-Ruwaisyid dalam "Ibadah Yang Paling Dicintai Allah" mendefinisikan taqiy yaitu yang beriman kepada yang gaib , mendirikan salat , menginfakkan rezeki yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya, menghindari yang diharamkan Allah, taat dan mengikuti syari’at-Nya yang Dia mengutus dengannya penutup rasul-Nya dan pemimpin mereka.
Kedua, al-ghaniy atau seorang yang kaya. Maksudnya adalah jiwanya yang kaya, qona’ah dengan apa yang Allāh berikan kepadanya.
Asma' menerangkan yang dimaksud kaya dalam hadis itu adalah yang kaya hati, inilah kaya yang dicintai berdasarkan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ليس الغنى عن كثرة العرض ولكن الغنى غنى النفس )) [أخرجه البخاري].
“Bukanlah kaya karena banyaknya harta benda, akan tetapi kaya yang sebenarnya adalah kaya hati.” (HR al-Bukhari).
Menurut Ibnu Baththal, makna hadis di atas bahwa kaya yang sebenarnya bukanlah dengan banyak harta, karena banyak sekali orang yang diluaskan Allah subhanahu wa ta’ala hartanya ternyata tidak merasa cukup dengan yang diberikan, maka ia terus berusaha menambah dan tidak perduli dari mana datangnya.
Seolah-olah ia orang fakir karena sangat tamaknya. Dan hakikat kaya yang sebenarnya adalah kaya jiwa, yaitu orang yang merasa kaya dengan yang diberikan, merasa cukup dengannya dan ridha, tidak tamak untuk menambah dan tidak terus menerus meminta, maka seolah-olah ia orang kaya.
.
Kaya jiwa muncul dari ridha dengan qadha Allah subhanahu wa ta’ala dan berserah diri kepada perintah-Nya, karena mengetahui bahwa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala lebih baik dan lebih kekal.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, sesungguhnya kekayaan jiwa bisa didapatkan dengan kaya hati, bahwa ia berharap kepada Rabb-nya dalam semua perkaranya, maka terealisasikan bahwa Dia-lah Yang Maha Pemberi lagi Maha Menghalangi. Maka ia ridha dengan qadha-Nya, bersyukur kepada-Nya terhadap segala nikmat-Nya, bersegera kepada-Nya dalam menyingkirkan kesusahannya, maka muncul dari harapan hati kepada Rabb-nya, kaya jiwanya dari selain Rabb-nya subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah bersabda, “barangsiapa yang berusaha untuk mencukupkan diri, maka Allāh akan mencukupkan dirinya (Allāh akan berikan kecukupan kepada dia).”
a Menawar
Ketiga, khafiy. Hal yang ketiga ini ada dua bentuk. Al-khafiy dan al-hafiy. Yakni dalam huruf kha (خ) dan dalam huruf ha (ح). Jika dengan huruf kha (خ) yaitu al khafiy (الخفي) artinya “samar” ( tersembunyi). Maksudnya, orang ini berusaha menjauhkan dirinya dari pandangan manusia, dia tidak ingin riya’ dan sum’ah.
Dia sibuk dalam perkara-perkara yang bermanfaat bagi dirinya; bermanfaat bagi dunianya maupun bagi akhiratnya.
Para ulama menyebutkan bahwa ini adalah dalil tentang keutamaan untuk mengasingkan diri, terutama di zaman-zaman fitnah.
Seseorang hendaknya jangan sibuk dengan fitnah, tetapi sibuk dengan yang bermanfaat, sibuk dengan ibadah.
Dalam hadis Rasūlullāh shallallāhu ‘ālaihi wasallam mengatakan:
العِبادَةُ في الهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ
“Bahwasanya ibadah dalam masa-masa fitnah pahalanya seperti berhijrah kepadaku." (HR Muslim no. 2948)
Kenapa? Karena kalau sudah timbul fitnah, maka banyak orang yang sibuk ingin mengetahui fitnah tersebut, kemudian ingin berkomentar dalam fitnah dan ikut nimbrung.
Dan ini adalah dalil bahwasanya seorang hendaknya menjauhkan dirinya dari hal-hal yang bisa membuat riya’ dan sum’ah, dan tidak ingin populer/tersohor.
Namun para ulama menyebutkan, jika seseorang tidak ingin populer/tersohor dan tidak melakukan sebab-sebab yang membuat dirinya populer (sengaja untuk mempopulerkan diri), namun qaddarullāh dia terpopulerkan/dikenal oleh orang. Asalkan yang penting dia ikhlas maka ini tidak memberi kemudharatan kepada dia.
Bahkan disebutkan dalam hadis bahwasanya “Kalau ada orang memuji orang lain” maka kata Rasulullāh shallallāhu ‘ālaihi wasallam: “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan dari Allāh kepada dia.”
Sedangkan huruf ha (ح) dalam al-hafiy (الحفي), disebutkan oleh para ulama maknanya adalah “orang yang sibuk dengan keluarganya” (muhtafiy bi ahlihi).
Dia urus anak-anaknya, istrinya, tidak sibuk dengan urusan orang lain. Orang seperti ini dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla karena mengurus keluarga adalah perkara yang penting; keluarga itu adalah pahala yang primer.
Sedangkan Asma' menerjemahkan al-khafiy sibuk beribadah dan mengurus dirinya sendiri. Menurut Asma', sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai orang yang takwa lagi samar, yang bila tidak ada (gaib) tidak ada yang mencarinya, jika hadir tidak ada yang mengenalnya, tidak menampakkan diri dengan kebaikan, tidak menampakkan amal dan ilmu, tidak mencari kedudukan di hati makhluk, merasa cukup dengan perhatian Yang Maha Pencipta terhadap ibadahnya tanpa perhatian manusia, merasa cukup dengan pujian Allah subhanahu wa ta’ala saja tanpa pujian manusia. Wallahu'alam. ( )
(mhy)