Ini Mengapa Ulama Beda Pendapat tentang Hukum Nikah Misyar
loading...
A
A
A
NIKAH misyar adalah pernikahan di mana perempuan tak mendapatkan haknya sebagai istri secara penuh seperti yang diatur saat akad nikah. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum nikah misyar ini. Ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan.
Ulama yang membolehkan antara lain karena dianggap bisa menjadi solusi bagi perawan tua yang kaya raya dan tidak butuh biaya dari suami. Juga solusi bagi lelaki miskin yang tak kuat membayar mahar atau mas kawin untuk calon istrinya.
Chomim Tohari dari Islamic Law Marmara University Turkey telah meneliti tentang nikah misyar tersebut. Dalam papernya berjudul "Fatwa Ulama tentang Hukum Islam Nikah Misyar Perspektif Maqqasid Shari'ah", ia menjelaskan bahwa pernikahan misyar adalah model pernikahan yang tidak lazim. Sang istri melepaskan haknya mendapatkan nafkah dari suaminya.
"Pernikahan ini berlangsung ketika suami merantau dalam waktu lama dan menikahi wanita di tempat perantauannya," tulis Chomim Tohari.
Para istri yang merelakan haknya itu biasanya adalah wanita-wanita yang mapan secara ekonomi dan hanya memerlukan kebutuhan batiniah dari suaminya. "Pernyataan istri tentang kerelaannya itu disebutkan sebagai syarat dalam akad nikah ," jelasnya.
Chomim Tohari mengatakan fenomena nikah misyar telah banyak dijumpai dalam masyarakat pada masa lalu dan sekarang. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul "Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah" (Dar al-Qalam, 1421 H) mengupas masalah ini secara panjang lebar.
Menurutnya, orang-orang Qatar dan orang-orang di Negara Teluk lainnya seringkali bepergian sampai berbulan-bulan. Sebagian dari mereka ada yang kawin dengan wanita-wanita Afrika, Asia dan wanita-wanita kaya di tempat mereka bepergian. Hal itu dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka juga untuk mempertahankan hidup mereka di perantauan.
Menurutnya, dalam masyarakat perkotaan di negara-negara Barat yang maju yang mana kaum perempuan kebanyakan memiliki karir dan ekonomi yang cukup bahkan berlimpah, sementara jumlah umat Islam berada pada posisi minoritas, pernikahan misyar telah biasa dilakukan oleh masyarakat muslim tersebut.
Biasanya, setelah seorang wanita menjadi janda, kemudian ia kawin lagi dengan seorang laki-laki. Karena sang wanita memiliki rumah dan anak, maka sang suami yang menikahinya secara misyar tersebutlah yang datang ke rumahnya setiap minggu satu atau dua hari.
Sedangkan rumah yang ditempati sang wanita adalah rumah suami pertama yang telah meninggal atau rumahnya sendiri. Dan suami misyar-nya tidak memberikan sesuatu apapun kepada istrinya, baik nafkah maupun tempat tinggal.
Chomim Tohari mengatakan sebagaimana bentuk-bentuk pernikahan sebelumnya, pernikahan seperti inipun juga menimbulkan perdebatan terutama di kalangan ulama kontemporer.
Karena model nikah misyar baru dikenal masa kini, maka para ulama kontemporer berbeda pendapat menghukuminya. "Sebenarnya masalah nikah misyar di Indonesia belum banyak dikaji atau diperbincangkan oleh para ahli hukum Islam," ujarnya.
Terminologi Nikah Misyar
Lalu apa sejatinya terminologi nikah misyar itu? Secara bahasa, menurut Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, misyar artinya pergi atau perjalanan. Kata ini menurut pakar bahasa mengandung pengertian kathrah, yakni terjadi dengan intensitas tinggi.
Nama al-misyar adalah sebuah nama bagi pernikahan, di mana suami pergi ke tempat istrinya, bukan sebaliknya.
Shaykh Jabir al-Hakami dalam artikelnya berjudul “Al-Misyar: al-Musamma, al-Dawa’i, wa Hukmuhu al-Syar’i” yang dilansir al-Nadwah mengatakan pernikahan ini disebut misyar dikarenakan suamilah yang bertolak menuju tempat istri di waktu-waktu yang terpisah lagi sempit. Ia tidak berlama-lama tinggal bersama istrinya, bahkan seringkali suami tersebut tidak bermalam dan tidak menetap.
Sebagian orang memandang bahwa misyar adalah bahasa ‘amiyyah yang berasal dari orang-orang Badui di sejumlah Negara Arab. Berkaitan dengan hal tersebut, Al-Qardhawi mengakui tidak mengetahui makna misyar (secara pasti).
Menurutnya, kata misyar bukan sebuah kata baku tetapi bentuk ‘amiyyah yang berkembang di sebagian Negara Teluk, dengan pengertian melewati sesuatu tanpa menyempatkan tinggal dalam waktu yang lama.
Shaykh Abd Allah bin Sulayman bin Mani’ dalam “Hukm al-Zawaj”, mengatakan sisi perbedaan pernikahan ini dengan pernikahan umumnya adalah sang istri merelakan lepasnya hak pribadinya dalam pembagian hari dan nafkah. Ia juga merelakan sang suami mengunjungi dirinya di waktu-waktu yang longgar saja, kapan saja, siang atau malam.
Alasan Membolehkan
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum nikah misyar. Dalam hal ini setidaknya terdapat dua kelompok ulama yang memiliki pandangan hukum yang berbeda. Salah satunya adalah membolehkan nikah misyar.
"Mayoritas ulama kontemporer yang telah mengeluarkan fatwa tentang masalah nikah misyar memandang bahwa nikah misyar merupakan pernikahan syar’i yang sah hukumnya," tulis Chomim Tohari.
Kendatipun sebagian mereka yang membolehkan nikah misyar menegaskan bukan sebagai penganjur pernikahan seperti ini, sedangkan sebagian lagi menyatakan bahwa hukumnya makruh, meskipun sah.
Dengan demikian, hukum-hukum sebagai konsekuensi pernikahan tersebut berlaku, begitu pula dampak-dampaknya. Karena pencabutan istri terhadap sebagian haknya dan pengajuan hal itu sebagai syarat dalam pernikahan tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan, selama pernikahan tersebut telah memenuhi rukun-rukun dan persyaratan-persyaratannya.
Di antara ulama yang membolehkan nikah misyar adalah Shaykh ‘Abd al-‘Aziz bin Baz, Shaykh ‘Abd al-‘Aziz Alu al-Shaykh (Mufti Kerajaan Arab Saudi saat ini), Yusuf al-Qardhawi, Syeikh ‘A Wahbah Zuhayli, Ahmad al-Hajji al-Kurdi, Shaykh Su’ud al-Shuraym (imam dan khatib Masjid al- Haram), Shaykh Yusuf al-Duraywish, dan beberapa ulama lainnya.
Menurut al-Qardhawi, pernikahan misyar dibolehkan karena sebagaimana pernikahan da’im (pernikahan konvensional), nikah misyar juga mewujudkan maslahat syariat, di mana pasangan suami istri mendapatkan kepuasan batin. Juga adanya kehidupan keluarga yang dibangun atas dasar kemuliaan.
"Secara hukum, nikah misyar sah adanya, karena memenuhi semua rukun dan syarat nikah yang sah. Di mana ada ijab dan qabul, saling meridai antara kedua mempelai, wali, saksi, kedua mempelai sepadan, ada mahar yang disepakati.
Setelah akad nikah keduanya resmi menjadi suami istri. Suami istri yang di kemudian hari punya hak. Hak keturunan, hak waris, hak iddah, hak talak, hak meniduri, hak tempat tinggal, hak biaya hidup, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami istri.
Hanya saja, kata al-Qardhawi, keduanya saling meridai dan sepakat, bahwa tidak ada tuntutan bagi istri terhadap suami untuk tinggal bersama istrinya, juga hak berbagi hari giliran. Sebab semuanya tergantung kepada suami. "Kapan saja suami mau menziarahi istrinya, maka dia akan menjumpainya di sembarang jam, siang maupun malam," ujar al-Qardhawi.
Menurut al-Qardhawi, nikah misyar menjadi solusi bagi perempuan-perempuan yang tidak bersuami, perawan-perawan yang telah lewat masa nikahnya, tentunya dengan memilih laki-laki yang benar-benar baik budi pekertinya, dan antara kedua pihak telah sama-sama rida.
"Maka tidak sepatutnya orang menghalangi jalan yang dihalalkan oleh syara’," katanya. Namun demikian, al-Qardhawi menegaskan bahwa dirinya bukanlah sebagai orang yang menyukai dan menganjurkan pernikahan misyar.
Ulama lain yang mendukung pendapat yang membolehkan nikah misyar adalah Yusuf al-Duraysh. Menurutnya, pendapat yang menyatakan tidak sahnya nikah misyar karena adanya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan itu, baik oleh saksi, wali, maupun kedua mempelai, tidaklah menjadikan pernikahan itu tidak sah.
Pendapat inilah yang menurutnya sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Selain itu, ditinjau dari perwujudan tujuan-tujuan besar sebuah pernikahan, memang benar bahwa nikah misyar bukan bentuk pernikahan yang ideal.
"Akan tetapi bukan berarti kosong dari pembentukan tujuan-tujuan utamanya secara keseluruhan," ujar Al-Duraywish.
Berikutnya, ulama kontemporer yang membolehkan nikah misyar adalah ‘Abd al-‘Aziz bin Baz. Tentang pernikahan ini beliau berpandapat bahwa tidak mengapa jika akadnya memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati secara syar'i.
Apabila kedua suami istri itu sepakat bahwa istrinya tetap boleh tinggal bersama kedua orang tuanya, atau bagiannya di siang hari saja bukan di malam hari, atau pada hari-hari tertentu, atau pada malam-malam tertentu; maka tidak mengapa akan hal itu.
Ulama yang Mengharamkan
Selain itu, sejumlah ulama kontemporer ada yang mengharamkan pernikahan misyar. Di antara argumen mereka adalah lantaran menonjolnya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan semacam ini. Oleh arena itu ia merupakan jalan kerusakan dan perbuatan kemunkaran.
Chomim Tohari menyebut di antara ulama yang mengharamkan nikah misyar adalah Nasir al-Din al-Albani, Muhammad Zuhayli, Ali Qurah Dagi, dan Ibrahim Fadhil.
Argumen mereka mengharamkan lantaran nikah misyar menonjolnya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan semacam ini. "Oleh arena itu ia merupakan jalan kerusakan dan perbuatan kemunkaran," tulisnya.
Orang-orang yang sudah rusak pribadinya bisa saja menjadikannya sebagai tunggangan untuk merealisasikan tujuan mereka. Sebab segala sesuatu yang menyeret kepada perkara haram, maka hukumnya juga diharamkan.
Usamah al-Asyqar dalam kitabnya berjudul "Mustajidat al-Fiqihiyyah fi Qadhaya al-Zawaj wa al-Thalaq" (Dar al-Ilmiyyah, 1422 H) menjelaskan bahwa larangan ini juga ditunjukkan untuk kepentingan mengatur umat manusia.
"Dampak-dampak buruk ini dapat dipastikan timbul, dan biasanya menjadi kenyataan, bukan sekadar dalam batas prediksi-prediksi, khayalan belaka, maupun kejadian-kejadian yang bersifat dadakan maupun jarang terjadi," ujarnya.
Selain itu para ulama di atas juga berpendapat bahwa pernikahan misyar tidak mewujudkan orientasi-orientasi pernikahan, seperti hidup bersama, meretas jalinan kasih sayang, cita-cita memiliki keturunan dan perhatian terhadap istri dan anak-anak, serta tidak adanya keadilan di hadapan istri-istri.
"Terlebih lagi, adanya unsur penghinaan terhadap kaum wanita dan terkadang mengandung muatan untuk menggugurkan hak istri atas pemenuhan kebutuhan biologis, nafkah, dan lain-lain," ujar Chomim Tohari.
Adapun ulama kontemporer yang termasuk kelompok yang mengharamkan nikah misyar adalah Syeikh Nashiruddin al-Albani. Ulama lain yang juga mengharamkan nikah misyar adalah Syeikh Abdul Sattar al-Jubali.
Beliau berargumen bahwa nikah misyar menyebabkan suami tidak punya rasa tanggung jawab keluarga. Akibatnya, suami akan dengan mudah menceraikan istrinya, semudah dia menikah. Belum lagi praktik nikah misyar yang lebih banyak dilakukan secara diam-diam, tanpa wali.
Semua ini akan menjadikan akad nikah menjadi bahan permainan oleh orang-orang pengagum seks dan pecinta wanita. Karena tak ada tujuan lain, selain agar nafsu seksnya terpenuhi tanpa ada tanggung jawab sedikitpun. Belum lagi anak-anak yang terlahir nantinya, akan merasa asing dengan bapaknya, karena jarang dikunjungi. Dan hal ini akan memperburuk pendidikan dan akhlak anak-anak.
Chomim Tohari juga menyebut salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i yang mengatakan tidak sahnya akad nikah bila disyaratkan gugur nafkah dan tempat tinggal.
Selain itu, al-Jubali juga membantah argumen ulama yang membolehkan nikah misyar bahwa disebabkan dalil yang digunakan oleh pendapat pertama sangat tidak pas.
Al-Jubali juga menolak argumen yang dikemukakan oleh pendapat yang membolehkan nikah misyar, bahwa nikah misyar meminimalisir perawan-perawan tua yang kaya raya dan tidak butuh biaya suami.
Menurutnya, alasan seperti ini perlu ditela’ah lebih jauh. Bahwa perawan-perawan tua lagi kaya itu hanya sedikit jumlahnya. Maka solusi itu justru akan banyak menelantarkan perawan-perawan tua miskin yang jumlahnya lebih banyak.
Shaykh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim berpendapat bahwa pendapat yang rajih tentang nikah misyar adalah bahwa yang menjadi pangkal perselisihan terletak pada pengajuan syarat untuk menggugurkan kewajiban menafkahi dan tinggal bersama istri, serta pengaruhnya terhadap keabsahan akad.
Beliau menyatakan bahwa akad nikah misyar tetap sah dan perkawinannya pun legal, namun syaratnya gugur. Dengan demikian, katanya, perkawinan ini tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syariat berupa penghalalan senggama, kepastian nasab, kewajiban nafkah dan pembagian yang adil (jika poligami ).
Dalam hal ini, istri berhak menuntut, namun tidak masalah jika ia dengan sukarela melepaskan hak-hak ini tanpa syarat, sebab itu merupakan haknya.
"Dengan syarat, pernikahan tersebut harus diumumkan, tidak boleh dirahasiakan," ujar ‘Abd al-‘Aziz bin Baz. (*)
Ulama yang membolehkan antara lain karena dianggap bisa menjadi solusi bagi perawan tua yang kaya raya dan tidak butuh biaya dari suami. Juga solusi bagi lelaki miskin yang tak kuat membayar mahar atau mas kawin untuk calon istrinya.
Chomim Tohari dari Islamic Law Marmara University Turkey telah meneliti tentang nikah misyar tersebut. Dalam papernya berjudul "Fatwa Ulama tentang Hukum Islam Nikah Misyar Perspektif Maqqasid Shari'ah", ia menjelaskan bahwa pernikahan misyar adalah model pernikahan yang tidak lazim. Sang istri melepaskan haknya mendapatkan nafkah dari suaminya.
"Pernikahan ini berlangsung ketika suami merantau dalam waktu lama dan menikahi wanita di tempat perantauannya," tulis Chomim Tohari.
Para istri yang merelakan haknya itu biasanya adalah wanita-wanita yang mapan secara ekonomi dan hanya memerlukan kebutuhan batiniah dari suaminya. "Pernyataan istri tentang kerelaannya itu disebutkan sebagai syarat dalam akad nikah ," jelasnya.
Chomim Tohari mengatakan fenomena nikah misyar telah banyak dijumpai dalam masyarakat pada masa lalu dan sekarang. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul "Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah" (Dar al-Qalam, 1421 H) mengupas masalah ini secara panjang lebar.
Menurutnya, orang-orang Qatar dan orang-orang di Negara Teluk lainnya seringkali bepergian sampai berbulan-bulan. Sebagian dari mereka ada yang kawin dengan wanita-wanita Afrika, Asia dan wanita-wanita kaya di tempat mereka bepergian. Hal itu dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka juga untuk mempertahankan hidup mereka di perantauan.
Menurutnya, dalam masyarakat perkotaan di negara-negara Barat yang maju yang mana kaum perempuan kebanyakan memiliki karir dan ekonomi yang cukup bahkan berlimpah, sementara jumlah umat Islam berada pada posisi minoritas, pernikahan misyar telah biasa dilakukan oleh masyarakat muslim tersebut.
Biasanya, setelah seorang wanita menjadi janda, kemudian ia kawin lagi dengan seorang laki-laki. Karena sang wanita memiliki rumah dan anak, maka sang suami yang menikahinya secara misyar tersebutlah yang datang ke rumahnya setiap minggu satu atau dua hari.
Sedangkan rumah yang ditempati sang wanita adalah rumah suami pertama yang telah meninggal atau rumahnya sendiri. Dan suami misyar-nya tidak memberikan sesuatu apapun kepada istrinya, baik nafkah maupun tempat tinggal.
Chomim Tohari mengatakan sebagaimana bentuk-bentuk pernikahan sebelumnya, pernikahan seperti inipun juga menimbulkan perdebatan terutama di kalangan ulama kontemporer.
Karena model nikah misyar baru dikenal masa kini, maka para ulama kontemporer berbeda pendapat menghukuminya. "Sebenarnya masalah nikah misyar di Indonesia belum banyak dikaji atau diperbincangkan oleh para ahli hukum Islam," ujarnya.
Terminologi Nikah Misyar
Lalu apa sejatinya terminologi nikah misyar itu? Secara bahasa, menurut Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, misyar artinya pergi atau perjalanan. Kata ini menurut pakar bahasa mengandung pengertian kathrah, yakni terjadi dengan intensitas tinggi.
Nama al-misyar adalah sebuah nama bagi pernikahan, di mana suami pergi ke tempat istrinya, bukan sebaliknya.
Shaykh Jabir al-Hakami dalam artikelnya berjudul “Al-Misyar: al-Musamma, al-Dawa’i, wa Hukmuhu al-Syar’i” yang dilansir al-Nadwah mengatakan pernikahan ini disebut misyar dikarenakan suamilah yang bertolak menuju tempat istri di waktu-waktu yang terpisah lagi sempit. Ia tidak berlama-lama tinggal bersama istrinya, bahkan seringkali suami tersebut tidak bermalam dan tidak menetap.
Sebagian orang memandang bahwa misyar adalah bahasa ‘amiyyah yang berasal dari orang-orang Badui di sejumlah Negara Arab. Berkaitan dengan hal tersebut, Al-Qardhawi mengakui tidak mengetahui makna misyar (secara pasti).
Menurutnya, kata misyar bukan sebuah kata baku tetapi bentuk ‘amiyyah yang berkembang di sebagian Negara Teluk, dengan pengertian melewati sesuatu tanpa menyempatkan tinggal dalam waktu yang lama.
Shaykh Abd Allah bin Sulayman bin Mani’ dalam “Hukm al-Zawaj”, mengatakan sisi perbedaan pernikahan ini dengan pernikahan umumnya adalah sang istri merelakan lepasnya hak pribadinya dalam pembagian hari dan nafkah. Ia juga merelakan sang suami mengunjungi dirinya di waktu-waktu yang longgar saja, kapan saja, siang atau malam.
Alasan Membolehkan
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum nikah misyar. Dalam hal ini setidaknya terdapat dua kelompok ulama yang memiliki pandangan hukum yang berbeda. Salah satunya adalah membolehkan nikah misyar.
"Mayoritas ulama kontemporer yang telah mengeluarkan fatwa tentang masalah nikah misyar memandang bahwa nikah misyar merupakan pernikahan syar’i yang sah hukumnya," tulis Chomim Tohari.
Kendatipun sebagian mereka yang membolehkan nikah misyar menegaskan bukan sebagai penganjur pernikahan seperti ini, sedangkan sebagian lagi menyatakan bahwa hukumnya makruh, meskipun sah.
Dengan demikian, hukum-hukum sebagai konsekuensi pernikahan tersebut berlaku, begitu pula dampak-dampaknya. Karena pencabutan istri terhadap sebagian haknya dan pengajuan hal itu sebagai syarat dalam pernikahan tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan, selama pernikahan tersebut telah memenuhi rukun-rukun dan persyaratan-persyaratannya.
Di antara ulama yang membolehkan nikah misyar adalah Shaykh ‘Abd al-‘Aziz bin Baz, Shaykh ‘Abd al-‘Aziz Alu al-Shaykh (Mufti Kerajaan Arab Saudi saat ini), Yusuf al-Qardhawi, Syeikh ‘A Wahbah Zuhayli, Ahmad al-Hajji al-Kurdi, Shaykh Su’ud al-Shuraym (imam dan khatib Masjid al- Haram), Shaykh Yusuf al-Duraywish, dan beberapa ulama lainnya.
Menurut al-Qardhawi, pernikahan misyar dibolehkan karena sebagaimana pernikahan da’im (pernikahan konvensional), nikah misyar juga mewujudkan maslahat syariat, di mana pasangan suami istri mendapatkan kepuasan batin. Juga adanya kehidupan keluarga yang dibangun atas dasar kemuliaan.
"Secara hukum, nikah misyar sah adanya, karena memenuhi semua rukun dan syarat nikah yang sah. Di mana ada ijab dan qabul, saling meridai antara kedua mempelai, wali, saksi, kedua mempelai sepadan, ada mahar yang disepakati.
Setelah akad nikah keduanya resmi menjadi suami istri. Suami istri yang di kemudian hari punya hak. Hak keturunan, hak waris, hak iddah, hak talak, hak meniduri, hak tempat tinggal, hak biaya hidup, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami istri.
Hanya saja, kata al-Qardhawi, keduanya saling meridai dan sepakat, bahwa tidak ada tuntutan bagi istri terhadap suami untuk tinggal bersama istrinya, juga hak berbagi hari giliran. Sebab semuanya tergantung kepada suami. "Kapan saja suami mau menziarahi istrinya, maka dia akan menjumpainya di sembarang jam, siang maupun malam," ujar al-Qardhawi.
Menurut al-Qardhawi, nikah misyar menjadi solusi bagi perempuan-perempuan yang tidak bersuami, perawan-perawan yang telah lewat masa nikahnya, tentunya dengan memilih laki-laki yang benar-benar baik budi pekertinya, dan antara kedua pihak telah sama-sama rida.
"Maka tidak sepatutnya orang menghalangi jalan yang dihalalkan oleh syara’," katanya. Namun demikian, al-Qardhawi menegaskan bahwa dirinya bukanlah sebagai orang yang menyukai dan menganjurkan pernikahan misyar.
Ulama lain yang mendukung pendapat yang membolehkan nikah misyar adalah Yusuf al-Duraysh. Menurutnya, pendapat yang menyatakan tidak sahnya nikah misyar karena adanya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan itu, baik oleh saksi, wali, maupun kedua mempelai, tidaklah menjadikan pernikahan itu tidak sah.
Pendapat inilah yang menurutnya sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Selain itu, ditinjau dari perwujudan tujuan-tujuan besar sebuah pernikahan, memang benar bahwa nikah misyar bukan bentuk pernikahan yang ideal.
"Akan tetapi bukan berarti kosong dari pembentukan tujuan-tujuan utamanya secara keseluruhan," ujar Al-Duraywish.
Berikutnya, ulama kontemporer yang membolehkan nikah misyar adalah ‘Abd al-‘Aziz bin Baz. Tentang pernikahan ini beliau berpandapat bahwa tidak mengapa jika akadnya memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati secara syar'i.
Apabila kedua suami istri itu sepakat bahwa istrinya tetap boleh tinggal bersama kedua orang tuanya, atau bagiannya di siang hari saja bukan di malam hari, atau pada hari-hari tertentu, atau pada malam-malam tertentu; maka tidak mengapa akan hal itu.
Ulama yang Mengharamkan
Selain itu, sejumlah ulama kontemporer ada yang mengharamkan pernikahan misyar. Di antara argumen mereka adalah lantaran menonjolnya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan semacam ini. Oleh arena itu ia merupakan jalan kerusakan dan perbuatan kemunkaran.
Chomim Tohari menyebut di antara ulama yang mengharamkan nikah misyar adalah Nasir al-Din al-Albani, Muhammad Zuhayli, Ali Qurah Dagi, dan Ibrahim Fadhil.
Argumen mereka mengharamkan lantaran nikah misyar menonjolnya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan semacam ini. "Oleh arena itu ia merupakan jalan kerusakan dan perbuatan kemunkaran," tulisnya.
Orang-orang yang sudah rusak pribadinya bisa saja menjadikannya sebagai tunggangan untuk merealisasikan tujuan mereka. Sebab segala sesuatu yang menyeret kepada perkara haram, maka hukumnya juga diharamkan.
Usamah al-Asyqar dalam kitabnya berjudul "Mustajidat al-Fiqihiyyah fi Qadhaya al-Zawaj wa al-Thalaq" (Dar al-Ilmiyyah, 1422 H) menjelaskan bahwa larangan ini juga ditunjukkan untuk kepentingan mengatur umat manusia.
"Dampak-dampak buruk ini dapat dipastikan timbul, dan biasanya menjadi kenyataan, bukan sekadar dalam batas prediksi-prediksi, khayalan belaka, maupun kejadian-kejadian yang bersifat dadakan maupun jarang terjadi," ujarnya.
Selain itu para ulama di atas juga berpendapat bahwa pernikahan misyar tidak mewujudkan orientasi-orientasi pernikahan, seperti hidup bersama, meretas jalinan kasih sayang, cita-cita memiliki keturunan dan perhatian terhadap istri dan anak-anak, serta tidak adanya keadilan di hadapan istri-istri.
"Terlebih lagi, adanya unsur penghinaan terhadap kaum wanita dan terkadang mengandung muatan untuk menggugurkan hak istri atas pemenuhan kebutuhan biologis, nafkah, dan lain-lain," ujar Chomim Tohari.
Adapun ulama kontemporer yang termasuk kelompok yang mengharamkan nikah misyar adalah Syeikh Nashiruddin al-Albani. Ulama lain yang juga mengharamkan nikah misyar adalah Syeikh Abdul Sattar al-Jubali.
Beliau berargumen bahwa nikah misyar menyebabkan suami tidak punya rasa tanggung jawab keluarga. Akibatnya, suami akan dengan mudah menceraikan istrinya, semudah dia menikah. Belum lagi praktik nikah misyar yang lebih banyak dilakukan secara diam-diam, tanpa wali.
Semua ini akan menjadikan akad nikah menjadi bahan permainan oleh orang-orang pengagum seks dan pecinta wanita. Karena tak ada tujuan lain, selain agar nafsu seksnya terpenuhi tanpa ada tanggung jawab sedikitpun. Belum lagi anak-anak yang terlahir nantinya, akan merasa asing dengan bapaknya, karena jarang dikunjungi. Dan hal ini akan memperburuk pendidikan dan akhlak anak-anak.
Chomim Tohari juga menyebut salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i yang mengatakan tidak sahnya akad nikah bila disyaratkan gugur nafkah dan tempat tinggal.
Selain itu, al-Jubali juga membantah argumen ulama yang membolehkan nikah misyar bahwa disebabkan dalil yang digunakan oleh pendapat pertama sangat tidak pas.
Al-Jubali juga menolak argumen yang dikemukakan oleh pendapat yang membolehkan nikah misyar, bahwa nikah misyar meminimalisir perawan-perawan tua yang kaya raya dan tidak butuh biaya suami.
Menurutnya, alasan seperti ini perlu ditela’ah lebih jauh. Bahwa perawan-perawan tua lagi kaya itu hanya sedikit jumlahnya. Maka solusi itu justru akan banyak menelantarkan perawan-perawan tua miskin yang jumlahnya lebih banyak.
Shaykh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim berpendapat bahwa pendapat yang rajih tentang nikah misyar adalah bahwa yang menjadi pangkal perselisihan terletak pada pengajuan syarat untuk menggugurkan kewajiban menafkahi dan tinggal bersama istri, serta pengaruhnya terhadap keabsahan akad.
Beliau menyatakan bahwa akad nikah misyar tetap sah dan perkawinannya pun legal, namun syaratnya gugur. Dengan demikian, katanya, perkawinan ini tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syariat berupa penghalalan senggama, kepastian nasab, kewajiban nafkah dan pembagian yang adil (jika poligami ).
Dalam hal ini, istri berhak menuntut, namun tidak masalah jika ia dengan sukarela melepaskan hak-hak ini tanpa syarat, sebab itu merupakan haknya.
"Dengan syarat, pernikahan tersebut harus diumumkan, tidak boleh dirahasiakan," ujar ‘Abd al-‘Aziz bin Baz. (*)
(mhy)