Misteri Umar bin Khattab Saat Ikut Hijrah ke Madinah
Senin, 08 Juni 2020 - 09:45 WIB
Umar bin Khattab ikut berhijrah ke Madinah begitu Rasulullah memerintahkan seluruh umat Islam meninggalkan Makkah . Mereka berangkat secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui kaum kafir Quraisy.
Hanya saja, Muhammad Husain Haekal dalam “Umar bin Khattab” menulis bahwa ada sebuah sumber yang dihubungkan kepada Ali bin Abi Thalib menyebutkan: "Setahu saya semua Muhajirin hijrah dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin Khattab”. ( )
Konon, menurut sumber itu, sesudah siap akan berangkat hijrah , Umar menenteng pedang, diselempangkannya panahnya dengan menggenggam anak panah di tangan dan sebatang tongkat komando.
Ia pergi menuju Ka'bah , pada saat itu orang-orang Quraisy banyak berkumpul di beranda tempat suci itu. Umar melakukan tawaf di Ka'bah tujuh kali dengan khusyuk, menuju ke Maqam (Ibrahim) lalu salat.
Setelah itu setiap lingkaran orang banyak didatanginya satu persatu seraya berkata kepada mereka: "Wajah-wajah celaka! Allah menista orang-orang ini! Barang siapa ingin diratapi ibunya, ingin anaknya menjadi yatim atau istrinya menjadi janda, temui aku di balik lembah itu."
Hanya saja, menurut Haekal, baik Ibn Hisyam, Ibn Sa'd atau at-Tabari tidak mencatat peristiwa ini. Ibn Hisyam dalam as-Sirah an-Nabawiyah dan Ibn Sa'd dalam at-Tabagat al-Kubra menyebutkan bahwa Rasulullah mengizinkan orang hijrah meninggalkan Makkah dengan terpencar-pencar sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di kalangan Quraisy, dan Muslimin ke luar secara bebas. Yang mempunyai kendaraan dapat bergantian, yang tidak supaya berjalan kaki.
Umar bin Khattab sendiri pun berkata: "Saya dan Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan Hisyam bin al-As bin Wa'il sudah berjanji akan keluar diam-diam. Kami berkata, jika di antara kita ada yang terlambat dari waktu yang sudah dijanjikan, berangkatlah dua orang. Saya berangkat bersama Ayyasy bin Abi Rabi'ah; Hisyam bin al-As masih tertahan. Seperti yang lain dia juga dibujuk oleh Quraisy. Saya dan Ayyasy meneruskan perjalanan sampai di Quba'."
Sesudah itu sumber tersebut menyebutkan bahwa Ayyasy kembali ke Makkah memenuhi permintaan ibunya, dan bahwa di sana ia dimasukkan ke dalam penjara, kemudian dibujuk dan dia pun terbujuk.
Adakah kedua sumber ini saling bertentangan? Atau keduanya dapat disesuaikan, bahwa ia menantang orang-orang musyrik seperti dalam sumber yang dihubungkan kepada Ali bin Abi Thalib, kemudian setelah itu menurut sumber Ibn Hisyam dan Ibn Sa'd ia berangkat hijrah dengan diam-diam?
Menurut Haekal, kita lebih cenderung pada pendapat bahwa Umar tidak menantang siapa pun, dan bahwa dia hijrah meninggalkan Makkah diam-diam tanpa diketahui penduduk Makkah.
Dia melakukan itu bukan karena lemah atau takut, yang memang tak pernah dikenalnya selama hidupnya, tetapi dia laki-laki yang penuh disiplin. Dia mengikuti jemaah dan meminta yang lain juga mengikuti mereka.
Kaum Muslimin semua berangkat hijrah dengan diam-diam. Jadi tidak heran jika Umar juga mengikuti jejak mereka untuk menjaga ketentuan yang berlaku, dan supaya tidak timbul perasaan pada mereka yang pergi diam-diam bahwa keimanan Umar kepada Allah dan Rasul-Nya lebih kuat dari mereka.
Umar sudah sampai di Quba'. Di Banu Amr bin Auf ia bersama keluarganya tinggal pada keluarga Rifa'ah bin Abdul-Munzir. Setelah Rasulullah yang hijrah ditemani Abu Bakar tiba, Umar termasuk yang menyambutnya dan pergi bersama-sama dengan rombongan itu ke Madinah. Seperti Rasulullah dan Muslimin yang lain Umar juga ikut bekerja membangun mesjid dan tempat tinggal Rasulullah. Setelah itu Rasulullah pindah dari rumah Abu Ayyub al-Ansari.
Peristiwa hijrah ke Madinah ini merupakan permulaan zaman baru dan kebijaksanaan baru dalam sejarah Islam dan kaum Muslimin. Kaum Muhajirin yang hijrah dari Makkah berkumpul dengan mereka yang sudah menganut Islam di Madinah.
Mereka merupakan suatu kekuatan yang dapat mengangkat martabat dan membina kaum Muslimin. Rasulullah menginginkan agar martabat mereka lebih tinggi, persatuan mereka lebih kuat. Dengan menjalin pertalian yang lebih erat antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, maka rasa persatuan dan harga diri mereka itu akan lebih kuat lagi. Oleh karena itu diajaknya mereka saling bersaudara setiap dua orang.
Beliau sendiri mempersaudarakan Ali bin Abi Thalib; Hamzah pamannya dipersaudarakan dengan bekas budaknya Zaid bin Harisah; Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid; juga setiap orang dari kaum Muhajirin dipersaudarakan dengan seorang dari Ansar, yang oleh Rasulullah dijadikan hukum saudara sedarah dan senasab. Dalam hal ini Umar bin Khattab dipersaudarakan dengan Utban bin Malik, saudara Banu Salim bin Auf bin Amr bin Auf al-Khazraji.
Menurut sumber-sumber Ibn Sa'd disebutkan bahwa Rasulullah mempersaudarakan Abu Bakar dengan Umar, sumber lain menyebutkan bahwa ia mempersaudarakan Umar dengan Uwaim bin Sa'idah; sumber ketiga menyebutkan Umar dipersaudarakan dengan Mu'az bin Afra'.
Kemudian terdapat lagi beberapa sumber lain seperti yang dicatat oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari. Sumber yang sudah masyhur dan mutawatir menyebutkan bahwa Umar dipersaudarakan dengan Utban bin Malik.
Cara mempersaudarakan demikian memperkuat kedudukan Muslimin di Madinah, sehingga kaum musyrik dan Yahudi benar-benar memperhitungkan kekuatan mereka. Karena itu kalangan Yahudi tanpa ragu lagi mengajak damai dengan Rasulullah.
Mereka membuat perjanjian dengan Rasulullah yang menjamin adanya kebebasan beragama dan kebebasan menyatakan pendapat serta menghormati kota Madinah, menghormati kehidupan dan harta dan larangan melakukan kejahatan.
Persetujuan ini memperlemah kedudukan Aus dan Khazraj yang masih tetap musyrik, dan sekaligus memperkuat kedudukan kaum Muslimin.
Haekal menulis, kedudukan dan kekuatan yang dicapai Muslimin dalam kehidupan masyarakat di Madinah telah membuka cakrawala baru bagi Umar bin Khattab, yang selama di Makkah tak pernah ada. Dia laki-laki yang penuh disiplin, laki-laki bijaksana yang telah berjuang demi disiplin.
Kaum Muslimin di Makkah merupakan kaum minoritas yang dilindungi oleh keimanan mereka yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya sehingga mereka tidak tergoda dan tidak menjadi lemah, dengan bersikap negatif dalam perlawanan terhadap mereka yang mencoba menggoda agar meninggalkan agama Allah.
Perlawanan negatif demikian tidak sesuai dengan watak Umar yang selalu memberontak meluap-luap menantang siapa saja yang mau merintanginya. Untuk itu di Makkah tidak cukup tempat untuk melaksanakan segala kegiatannya sehingga menampakkan hasil.
Tetapi dalam kehidupan Muslimin di Madinah dengan segala disiplinnya yang begitu jelas, bagi Umar sudah tiba saatnya untuk memperlihatkan kepribadiannya dan harus ada pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Bahkan ada sifat-sifat Umar yang di Makkah dulu tak terlihat sudah mulai tampak: sebagai manusia yang dapat melihat peristiwa sebelum terjadi, dan apa yang terjadi seolah sudah diduganya.
Baca Juga: Biografi Umar Bin Khattab, Khalifah Kedua yang Menaklukkan Romawi dan Persia
Panggilan Salat
Sesudah Rasulullah merasa tenang di Madinah, pada waktunya tanpa dipanggil orang-orang datang berkumpul untuk salat. Rasulullah ingin menggunakan trompet seperti trompet orang Yahudi untuk memanggil Muslimin. Tetapi ia tidak menyukai trompet, maka dimintanya menggunakan genta yang ditabuh pada waktu salat seperti dilakukan orang Nasrani. Genta dibuat dengan menugaskan Umar agar keesokannya membeli dua potong kayu. Sementara Umar sedang tidur di rumahnya ia bermimpi: "Jangan gunakan genta, tetapi untuk salat serukanlah azan ."
Umar pergi menemui Rasulullah memberitahukan mimpinya. Tetapi wahyu sudah mendahuluinya. Ada juga disebutkan bahwa Abdullah bin Zaid (bin Sa'labah) sudah lebih dulu datang kepada Rasulullah dengan mengatakan: "Rasulullah, semalam saya seperti bermimpi: Ada laki-laki beipakaian hijau lewat di depan saya membawa genta.
Saya tanyakan kepadanya: Hai hamba Allah, akan Anda jual genta itu? Orang itu menjawab dengan bertanya: Akan Anda apakan? 'Untuk memanggil orang salat,' jawab saya. 'Boleh saya tunjukkan yang lebih baik?' tanyanya lagi.
Kemudian ia menyebutkan kepadanya lafal azan. Rasulullah pun lalu menyuruh Bilal dan ia menyerukan azan dengan lafal itu. Umar di rumahnya mendengar suara azan itu, ia keluar menemui Rasulullah sambil menyeret jubahnya dan berkata: "Rasulullah, demi Yang mengutus Anda dengan sebenarnya, saya bermimpi seperti itu."
Sejak itu suara azan bergema di udara Madinah setiap hari lima kali, dan ini merupakan bukti yang nyata bahwa Muslimin kini di atas angin, lebih unggul. (Baca Juga: Kisah Umar bin Khattab, Khalifah Kedua yang Ditakuti Setan
Azan untuk salat merupakan seruan kepada disiplin yang menambah kekuatan orang yang berpegang pada disiplin itu. Bahwa hal ini sudah dikatakan Umar sebelum turun wahyu, suatu bukti bahwa agama telah menyerap ke dalam diri orang kuat ini, sehingga pikirannya hanya tertumpu pada disiplin yang akan membuat agama ini makin kukuh dan tersebar luas.( )
Hanya saja, Muhammad Husain Haekal dalam “Umar bin Khattab” menulis bahwa ada sebuah sumber yang dihubungkan kepada Ali bin Abi Thalib menyebutkan: "Setahu saya semua Muhajirin hijrah dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin Khattab”. ( )
Konon, menurut sumber itu, sesudah siap akan berangkat hijrah , Umar menenteng pedang, diselempangkannya panahnya dengan menggenggam anak panah di tangan dan sebatang tongkat komando.
Ia pergi menuju Ka'bah , pada saat itu orang-orang Quraisy banyak berkumpul di beranda tempat suci itu. Umar melakukan tawaf di Ka'bah tujuh kali dengan khusyuk, menuju ke Maqam (Ibrahim) lalu salat.
Setelah itu setiap lingkaran orang banyak didatanginya satu persatu seraya berkata kepada mereka: "Wajah-wajah celaka! Allah menista orang-orang ini! Barang siapa ingin diratapi ibunya, ingin anaknya menjadi yatim atau istrinya menjadi janda, temui aku di balik lembah itu."
Hanya saja, menurut Haekal, baik Ibn Hisyam, Ibn Sa'd atau at-Tabari tidak mencatat peristiwa ini. Ibn Hisyam dalam as-Sirah an-Nabawiyah dan Ibn Sa'd dalam at-Tabagat al-Kubra menyebutkan bahwa Rasulullah mengizinkan orang hijrah meninggalkan Makkah dengan terpencar-pencar sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di kalangan Quraisy, dan Muslimin ke luar secara bebas. Yang mempunyai kendaraan dapat bergantian, yang tidak supaya berjalan kaki.
Umar bin Khattab sendiri pun berkata: "Saya dan Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan Hisyam bin al-As bin Wa'il sudah berjanji akan keluar diam-diam. Kami berkata, jika di antara kita ada yang terlambat dari waktu yang sudah dijanjikan, berangkatlah dua orang. Saya berangkat bersama Ayyasy bin Abi Rabi'ah; Hisyam bin al-As masih tertahan. Seperti yang lain dia juga dibujuk oleh Quraisy. Saya dan Ayyasy meneruskan perjalanan sampai di Quba'."
Sesudah itu sumber tersebut menyebutkan bahwa Ayyasy kembali ke Makkah memenuhi permintaan ibunya, dan bahwa di sana ia dimasukkan ke dalam penjara, kemudian dibujuk dan dia pun terbujuk.
Adakah kedua sumber ini saling bertentangan? Atau keduanya dapat disesuaikan, bahwa ia menantang orang-orang musyrik seperti dalam sumber yang dihubungkan kepada Ali bin Abi Thalib, kemudian setelah itu menurut sumber Ibn Hisyam dan Ibn Sa'd ia berangkat hijrah dengan diam-diam?
Menurut Haekal, kita lebih cenderung pada pendapat bahwa Umar tidak menantang siapa pun, dan bahwa dia hijrah meninggalkan Makkah diam-diam tanpa diketahui penduduk Makkah.
Dia melakukan itu bukan karena lemah atau takut, yang memang tak pernah dikenalnya selama hidupnya, tetapi dia laki-laki yang penuh disiplin. Dia mengikuti jemaah dan meminta yang lain juga mengikuti mereka.
Kaum Muslimin semua berangkat hijrah dengan diam-diam. Jadi tidak heran jika Umar juga mengikuti jejak mereka untuk menjaga ketentuan yang berlaku, dan supaya tidak timbul perasaan pada mereka yang pergi diam-diam bahwa keimanan Umar kepada Allah dan Rasul-Nya lebih kuat dari mereka.
Umar sudah sampai di Quba'. Di Banu Amr bin Auf ia bersama keluarganya tinggal pada keluarga Rifa'ah bin Abdul-Munzir. Setelah Rasulullah yang hijrah ditemani Abu Bakar tiba, Umar termasuk yang menyambutnya dan pergi bersama-sama dengan rombongan itu ke Madinah. Seperti Rasulullah dan Muslimin yang lain Umar juga ikut bekerja membangun mesjid dan tempat tinggal Rasulullah. Setelah itu Rasulullah pindah dari rumah Abu Ayyub al-Ansari.
Peristiwa hijrah ke Madinah ini merupakan permulaan zaman baru dan kebijaksanaan baru dalam sejarah Islam dan kaum Muslimin. Kaum Muhajirin yang hijrah dari Makkah berkumpul dengan mereka yang sudah menganut Islam di Madinah.
Mereka merupakan suatu kekuatan yang dapat mengangkat martabat dan membina kaum Muslimin. Rasulullah menginginkan agar martabat mereka lebih tinggi, persatuan mereka lebih kuat. Dengan menjalin pertalian yang lebih erat antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, maka rasa persatuan dan harga diri mereka itu akan lebih kuat lagi. Oleh karena itu diajaknya mereka saling bersaudara setiap dua orang.
Beliau sendiri mempersaudarakan Ali bin Abi Thalib; Hamzah pamannya dipersaudarakan dengan bekas budaknya Zaid bin Harisah; Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid; juga setiap orang dari kaum Muhajirin dipersaudarakan dengan seorang dari Ansar, yang oleh Rasulullah dijadikan hukum saudara sedarah dan senasab. Dalam hal ini Umar bin Khattab dipersaudarakan dengan Utban bin Malik, saudara Banu Salim bin Auf bin Amr bin Auf al-Khazraji.
Menurut sumber-sumber Ibn Sa'd disebutkan bahwa Rasulullah mempersaudarakan Abu Bakar dengan Umar, sumber lain menyebutkan bahwa ia mempersaudarakan Umar dengan Uwaim bin Sa'idah; sumber ketiga menyebutkan Umar dipersaudarakan dengan Mu'az bin Afra'.
Kemudian terdapat lagi beberapa sumber lain seperti yang dicatat oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari. Sumber yang sudah masyhur dan mutawatir menyebutkan bahwa Umar dipersaudarakan dengan Utban bin Malik.
Cara mempersaudarakan demikian memperkuat kedudukan Muslimin di Madinah, sehingga kaum musyrik dan Yahudi benar-benar memperhitungkan kekuatan mereka. Karena itu kalangan Yahudi tanpa ragu lagi mengajak damai dengan Rasulullah.
Mereka membuat perjanjian dengan Rasulullah yang menjamin adanya kebebasan beragama dan kebebasan menyatakan pendapat serta menghormati kota Madinah, menghormati kehidupan dan harta dan larangan melakukan kejahatan.
Persetujuan ini memperlemah kedudukan Aus dan Khazraj yang masih tetap musyrik, dan sekaligus memperkuat kedudukan kaum Muslimin.
Haekal menulis, kedudukan dan kekuatan yang dicapai Muslimin dalam kehidupan masyarakat di Madinah telah membuka cakrawala baru bagi Umar bin Khattab, yang selama di Makkah tak pernah ada. Dia laki-laki yang penuh disiplin, laki-laki bijaksana yang telah berjuang demi disiplin.
Kaum Muslimin di Makkah merupakan kaum minoritas yang dilindungi oleh keimanan mereka yang kuat kepada Allah dan Rasul-Nya sehingga mereka tidak tergoda dan tidak menjadi lemah, dengan bersikap negatif dalam perlawanan terhadap mereka yang mencoba menggoda agar meninggalkan agama Allah.
Perlawanan negatif demikian tidak sesuai dengan watak Umar yang selalu memberontak meluap-luap menantang siapa saja yang mau merintanginya. Untuk itu di Makkah tidak cukup tempat untuk melaksanakan segala kegiatannya sehingga menampakkan hasil.
Tetapi dalam kehidupan Muslimin di Madinah dengan segala disiplinnya yang begitu jelas, bagi Umar sudah tiba saatnya untuk memperlihatkan kepribadiannya dan harus ada pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Bahkan ada sifat-sifat Umar yang di Makkah dulu tak terlihat sudah mulai tampak: sebagai manusia yang dapat melihat peristiwa sebelum terjadi, dan apa yang terjadi seolah sudah diduganya.
Baca Juga: Biografi Umar Bin Khattab, Khalifah Kedua yang Menaklukkan Romawi dan Persia
Panggilan Salat
Sesudah Rasulullah merasa tenang di Madinah, pada waktunya tanpa dipanggil orang-orang datang berkumpul untuk salat. Rasulullah ingin menggunakan trompet seperti trompet orang Yahudi untuk memanggil Muslimin. Tetapi ia tidak menyukai trompet, maka dimintanya menggunakan genta yang ditabuh pada waktu salat seperti dilakukan orang Nasrani. Genta dibuat dengan menugaskan Umar agar keesokannya membeli dua potong kayu. Sementara Umar sedang tidur di rumahnya ia bermimpi: "Jangan gunakan genta, tetapi untuk salat serukanlah azan ."
Umar pergi menemui Rasulullah memberitahukan mimpinya. Tetapi wahyu sudah mendahuluinya. Ada juga disebutkan bahwa Abdullah bin Zaid (bin Sa'labah) sudah lebih dulu datang kepada Rasulullah dengan mengatakan: "Rasulullah, semalam saya seperti bermimpi: Ada laki-laki beipakaian hijau lewat di depan saya membawa genta.
Saya tanyakan kepadanya: Hai hamba Allah, akan Anda jual genta itu? Orang itu menjawab dengan bertanya: Akan Anda apakan? 'Untuk memanggil orang salat,' jawab saya. 'Boleh saya tunjukkan yang lebih baik?' tanyanya lagi.
Kemudian ia menyebutkan kepadanya lafal azan. Rasulullah pun lalu menyuruh Bilal dan ia menyerukan azan dengan lafal itu. Umar di rumahnya mendengar suara azan itu, ia keluar menemui Rasulullah sambil menyeret jubahnya dan berkata: "Rasulullah, demi Yang mengutus Anda dengan sebenarnya, saya bermimpi seperti itu."
Sejak itu suara azan bergema di udara Madinah setiap hari lima kali, dan ini merupakan bukti yang nyata bahwa Muslimin kini di atas angin, lebih unggul. (Baca Juga: Kisah Umar bin Khattab, Khalifah Kedua yang Ditakuti Setan
Azan untuk salat merupakan seruan kepada disiplin yang menambah kekuatan orang yang berpegang pada disiplin itu. Bahwa hal ini sudah dikatakan Umar sebelum turun wahyu, suatu bukti bahwa agama telah menyerap ke dalam diri orang kuat ini, sehingga pikirannya hanya tertumpu pada disiplin yang akan membuat agama ini makin kukuh dan tersebar luas.( )
(mhy)